Sangat
fenomenal Sandiwara Radio, terasa hampa bila terlewat tidak mendengarkan.
Seakan menjadi ritual wajib yang dinanti kehadirannya dengan episode terbaru.
Walau hujan turun lebat bergeming radiopun diputar kencang berselingan gemuruh
geluduk.
Gasebo
beratap sasak daun tebu tertiup sang bayu. Pelataran luas bertaman asri nampak
sepi penghuni. Dari kejuhan samar terlihat ada yang sedang menyiram dan menyapu
halaman. Inilah rumah Anton kawan kami di sekolah.
Terlihat
sosok tinggi berbadan kurus menuju samping rak penjemur pakaian. Membawa timba
penuh menumpuk, terasa berat mengangkat memindahkan. Peluh membasahi dahi
hingga menetes deras.
Sudah
lama ingin kemari, berdua menuju ke rumah berpagar besi. Terlihat kokoh gapura
dengan batu bata merah. Bersepeda mini menuju kesana penuh ati-hati. Pintu
gerbang di ketok berbunyi nyaring.
Tak
lama berselang sang kakek menghampiri. Membukakan pintu pagar tergembok rantai.
Begitu pintu terbuka, dipersilahkan kita untuk masuk sambil merangkul kami
berdua.
Beriringan
kita melangkah menyusuri jalan setapak, bebatuan kecil tertata rapi menghiasi
pijakan ini. Tiba di teras di persilahkan duduk sambil menunggu Anton
dipanggilkan.
Lima
belas menit kemudian, yang dinanti telah datang dengan baju dan celana yang
basah. Tawa dan canda tercurahkan pelepas rindu. Mengeratkan duduk di kursi
bertiga.
Toples
kue bolu telah terbuka bersama minuman segar tertuang di gelas. Tak kuasa
segera dipersilahkan mencicipi yang tersaji di atas meja panjang.
Dari
balik pintu kamar, kakek keluar menuju teras sambil membawa radio transistor.
Di bawa dengan mendekap dan menggenggam erat. Terasa istimewa membawanya,
seakan membopong dengan seksama.
Begitu
sampai di teras depan, sang kakek ikut nimbrung bersama sambil duduk teramat
nyaman. Dari kantong celana panjang berwarna hitam dikeluarkanlah batrei besar
dua buah. Dibukalah tutup belakang radio dengan mengganti batrei baru.
Tanpa
banyak kata, kakek mulai menutar knop untuk membunyikan radio. Dengan lirih
memutar knop tuning pencari gelombang. Terdengarlah alunan lagu musik tanpa
syair. Lembut sekali instrumentalia terdengar. Beberapa detik kemudian
terdengar lonceng pergantian siar penunjuk waktu.
Dalam
hati semakin penasaran, bagus sekali radio ini, apakah ini yang diceritakan
Anton selama ini. Belum selesai bertanya, sang kakek mengeraskan suara hingga
semakin jelas dan keras.
Berempat
saling memandang sembari mendengarkan radio. Selang beberapa saat siaran
berubah menjadi iklan yang seru. Nah saat itu Anton langsung berucap "mari
di minum dan dimakan kue bolunya sampai habis".
Terdengar
suara bersahutan seperti percakapan dengan disertai suara musik pengiring.
Bagus sekali terdengar sangat merdu, bikin kita makin cinta mendengar radio.
Begitu
iklan muncul, sang kakek bilang "inilah yang dinamakan sandiwara radio,
yang diputar berseri dan di putar setiap hari". Tampak antusias mendengar
sang kakek bercerta, sambil mangut-mangut kami memahaminya.
Kisah
seru terlontar perihal sandiwara,
begitu
terkesima disebut tokoh dan karakternya. Sembari duduk sang kakek bercerita
mengenai cinta pada sandiwara radio yang telah menemani dalam aktifitas.
Terpana
dengan kisah kakek yang telah setia mendengarkan sandiwara radio. Penuh
perjuangan untuk bisa menikmati, teramat cinta hingga rela kelar di siarankan.
Beragam
sandiwara radio telah terpatri di hati sang kakek diantaranya Saur Sepuh,
Misteri Gunung Merapi, Tutur Tinular, Brama Kumbara dan Ibuku Sayang Ibuku
Malang, Butir-butir Pasir di Laut.
Sandiwara
Radio semakin memanjakan pendengar untuk menumbuhkan daya imajinasi,
menggemaskan dan bikin penasaran tiap episodenya.
Telintas
nyata berbagai aksi di munculkan, seakan kita ikut serta dalam kisahnya.
Mendengarpun terasa dek-dekan sampai melelehkan air mata.
Akankah
sandiwara kembali berjaya hingga semakin di cinta dan dinanti kehadirannya.
Semoga kita semakin bijak dalam memilih program siar yang mendatangkan manfaat
dan kesejukan di hati pendengar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar